Mendurhakai Istri
Ada yang sering kita lupa, sehingga tanpa sadar jatuh kepada dosa yang
disegerakan siksanya oleh Allah di dunia ini. Sebagian diberi tangguh
sesaat, sampai kemudian mereka tersentak karena hampir-hampir tak ada
lagi yang bisa diharapkan, kecuali kalau mereka menemukan detik-detik
keinsafan. Sebagian lainnya tak memerlukan waktu lama untuk meneteskan
airmata, tetapi semuanya sudah terlambat.
Telah berlalu
orang-orang sebelum kita; yang meninggalkan catatan mengesankan dan
mengharukan, ataupun yang membekaskan kenangan yang menjengkelkan dan
menyedihkan. Mereka tak bisa lagi bangkit dari kuburnya untuk memberi
nasihat bagi hidup kita. Tetapi, sebaik-baik nasihat adalah kematian itu
sendiri.
Bercermin pada mereka yang telah pergi, ada yang bisa
kita petik untuk memperbaiki arah hidup kita. Rasulullah Saw bersabda,
“Ada dua dosa yang akan disegerakan Allah siksanya di dunia ini juga,
yaitu al-baghyu dan durhaka kepada orangtua” (H.r. Tirmidzi, Bukhari dan
Thabrani).
Apakah al-baghyu itu? Ah, terlalu sedikit ilmu saya
untuk menjelaskan. Sejauh yang saya pahami, al-baghyu adalah berbuat
sewenang-wenang, berbuat zalim, menindas dan menganiaya orang lain. Dan
al-baghyu yang paling dimurkai Allah ialah berbuat zalim terhadap istri
sendiri. Termasuk al-baghyu ialah menelantarkan istri, menyakiti
hatinya, merampas kehangatan cintanya, merendahkan kehormatannya,
mengabaikannya dalam mengambil keputusan, dan mencabut haknya untuk
memperoleh kebahagiaan hidup bersama kita.
Seorang suami boleh
jadi jatuh ke dalam al-baghyu apabila ia secara sengaja mengabaikan
kebutuhan istrinya untuk memperoleh kehangatan dari suaminya. Ia bisa
bisa digolongkan ke dalam kelompok orang-orang yang berbuat aniaya
apabila secara sengaja membiarkan istrinya menderita dan meneteskan
airmata, karena tak pernah mendapat sentuhan hangat sebagai istri.
Teringat saya pada Muhammad Abdul Halim Hamid. Ia pernah mengingatkan,
“Setiap amal yang diwajibkan Allah pasti mengandung kebajikan yang
banyak. Barang siapa menyia-nyiakannya, maka akan datanglah berbagai
musibah.”
“Oleh karena itu,” kata Muhammad Abdul Halim Hamid
lebih jauh, “barang siapa yang mengabaikan kewajiban jima’ akibatnya
berbahaya bagi istri. Ia akan merasa tertekan dan gelisah. Dengan
demikian berarti tak dapat merasakan kenikmatan dan kebahagiaan.”
Penjelasan Abdul Halim Hamid ini mengingatkan kita bahwa atas setiap
hak, ada kewajiban yang harus dipenuhi. Dan bahwa atas setiap kewajiban,
ada kebaikan yang menyertai apabila ditunaikan. Segala sesuatu yang
menyangkut hidup kita dengan diri sendiri, atau apalagi yang berhubungan
dengan orang lain, tak pernah lepas dari pengaturan mengenai hak,
kewajiban, kebajikan dan kebaikan. Semua ini kita perlukan karena
perasaan memiliki pasang surutnya. Demikian pula cinta tak selalu
bersemi di saat kita mengharapkannya. Di saat seperti ini, maka tak ada
pegangan yang lebih kokoh kecuali tegasnya peraturan dan terangnya
pengaturan.
Pada akhirnya, kembalinya memang pada kita. Terlebih
ketika tidak ada sistem yang mendukung untuk tegaknya penghormatan
kepada setiap hamba-Nya, hatta itu adalah istri kita sendiri. Catatan
sederhana hanyalah ikhtiar untuk sama-sama mengingatkan agar tak
terjatuh pada keburukan yang sama. Keburukan yang telah membinasakan
orang-orang sebelum kita dikarenakan mereka menistakan istrinya sendiri.
Ah, diam-diam saya teringat dengan perkataan Nabi ShallaLlahu ‘alaihi
wa sallam. Beliau pernah mengatakan, “Tidak memuliakan wanita kecuali
laki-laki yang mulia. Tidak merendahkan wanita kecuali laki-laki yang
rendah juga.”
Agaknya, hadis ini dapat menjadi cerminan kita,
termasuk suami macam apakah kita ini? Kalau kita masih termasuk
orang-orang yang rendah, semoga Allah memberi kesempatan kita untuk
berbenah sehingga kita kelak pulang ke hadapan Allah dalam keadaan mulia
dan diridhai-Nya. Bukan dalam keadaan nista dan rendah.
Semoga
Allah menolong kita. Semoga Allah menghindarkan kita dari
perbuatan-perbuatan rendah, termasuk di dalamnya perbuatan mendurhakai
istri
Ada yang sering kita lupa, sehingga tanpa sadar jatuh kepada dosa yang disegerakan siksanya oleh Allah di dunia ini. Sebagian diberi tangguh sesaat, sampai kemudian mereka tersentak karena hampir-hampir tak ada lagi yang bisa diharapkan, kecuali kalau mereka menemukan detik-detik keinsafan. Sebagian lainnya tak memerlukan waktu lama untuk meneteskan airmata, tetapi semuanya sudah terlambat.
Bercermin pada mereka yang telah pergi, ada yang bisa kita petik untuk memperbaiki arah hidup kita. Rasulullah Saw bersabda, “Ada dua dosa yang akan disegerakan Allah siksanya di dunia ini juga, yaitu al-baghyu dan durhaka kepada orangtua” (H.r. Tirmidzi, Bukhari dan Thabrani).
Apakah al-baghyu itu? Ah, terlalu sedikit ilmu saya untuk menjelaskan. Sejauh yang saya pahami, al-baghyu adalah berbuat sewenang-wenang, berbuat zalim, menindas dan menganiaya orang lain. Dan al-baghyu yang paling dimurkai Allah ialah berbuat zalim terhadap istri sendiri. Termasuk al-baghyu ialah menelantarkan istri, menyakiti hatinya, merampas kehangatan cintanya, merendahkan kehormatannya, mengabaikannya dalam mengambil keputusan, dan mencabut haknya untuk memperoleh kebahagiaan hidup bersama kita.
Seorang suami boleh jadi jatuh ke dalam al-baghyu apabila ia secara sengaja mengabaikan kebutuhan istrinya untuk memperoleh kehangatan dari suaminya. Ia bisa bisa digolongkan ke dalam kelompok orang-orang yang berbuat aniaya apabila secara sengaja membiarkan istrinya menderita dan meneteskan airmata, karena tak pernah mendapat sentuhan hangat sebagai istri.
Teringat saya pada Muhammad Abdul Halim Hamid. Ia pernah mengingatkan, “Setiap amal yang diwajibkan Allah pasti mengandung kebajikan yang banyak. Barang siapa menyia-nyiakannya, maka akan datanglah berbagai musibah.”
“Oleh karena itu,” kata Muhammad Abdul Halim Hamid lebih jauh, “barang siapa yang mengabaikan kewajiban jima’ akibatnya berbahaya bagi istri. Ia akan merasa tertekan dan gelisah. Dengan demikian berarti tak dapat merasakan kenikmatan dan kebahagiaan.”
Penjelasan Abdul Halim Hamid ini mengingatkan kita bahwa atas setiap hak, ada kewajiban yang harus dipenuhi. Dan bahwa atas setiap kewajiban, ada kebaikan yang menyertai apabila ditunaikan. Segala sesuatu yang menyangkut hidup kita dengan diri sendiri, atau apalagi yang berhubungan dengan orang lain, tak pernah lepas dari pengaturan mengenai hak, kewajiban, kebajikan dan kebaikan. Semua ini kita perlukan karena perasaan memiliki pasang surutnya. Demikian pula cinta tak selalu bersemi di saat kita mengharapkannya. Di saat seperti ini, maka tak ada pegangan yang lebih kokoh kecuali tegasnya peraturan dan terangnya pengaturan.
Pada akhirnya, kembalinya memang pada kita. Terlebih ketika tidak ada sistem yang mendukung untuk tegaknya penghormatan kepada setiap hamba-Nya, hatta itu adalah istri kita sendiri. Catatan sederhana hanyalah ikhtiar untuk sama-sama mengingatkan agar tak terjatuh pada keburukan yang sama. Keburukan yang telah membinasakan orang-orang sebelum kita dikarenakan mereka menistakan istrinya sendiri.
Ah, diam-diam saya teringat dengan perkataan Nabi ShallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pernah mengatakan, “Tidak memuliakan wanita kecuali laki-laki yang mulia. Tidak merendahkan wanita kecuali laki-laki yang rendah juga.”
Agaknya, hadis ini dapat menjadi cerminan kita, termasuk suami macam apakah kita ini? Kalau kita masih termasuk orang-orang yang rendah, semoga Allah memberi kesempatan kita untuk berbenah sehingga kita kelak pulang ke hadapan Allah dalam keadaan mulia dan diridhai-Nya. Bukan dalam keadaan nista dan rendah.
Semoga Allah menolong kita. Semoga Allah menghindarkan kita dari perbuatan-perbuatan rendah, termasuk di dalamnya perbuatan mendurhakai istri