THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Thursday, February 14, 2013

Sudah amanahkah engkau sebagai suami? oleh: Moh. Fauzil Adhim

Mendurhakai Istri

Ada yang sering kita lupa, sehingga tanpa sadar jatuh kepada dosa yang disegerakan siksanya oleh Allah di dunia ini. Sebagian diberi tangguh sesaat, sampai kemudian mereka tersentak karena hampir-hampir tak ada lagi yang bisa diharapkan, kecuali kalau mereka menemukan detik-detik keinsafan. Sebagian lainnya tak memerlukan waktu lama untuk meneteskan airmata, tetapi semuanya sudah terlambat.

Telah berlalu orang-orang sebelum kita; yang meninggalkan catatan mengesankan dan mengharukan, ataupun yang membekaskan kenangan yang menjengkelkan dan menyedihkan. Mereka tak bisa lagi bangkit dari kuburnya untuk memberi nasihat bagi hidup kita. Tetapi, sebaik-baik nasihat adalah kematian itu sendiri. 

Bercermin pada mereka yang telah pergi, ada yang bisa kita petik untuk memperbaiki arah hidup kita. Rasulullah Saw bersabda, “Ada dua dosa yang akan disegerakan Allah siksanya di dunia ini juga, yaitu al-baghyu dan durhaka kepada orangtua” (H.r. Tirmidzi, Bukhari dan Thabrani).

Apakah al-baghyu itu? Ah, terlalu sedikit ilmu saya untuk menjelaskan. Sejauh yang saya pahami, al-baghyu adalah berbuat sewenang-wenang, berbuat zalim, menindas dan menganiaya orang lain. Dan al-baghyu yang paling dimurkai Allah ialah berbuat zalim terhadap istri sendiri. Termasuk al-baghyu ialah menelantarkan istri, menyakiti hatinya, merampas kehangatan cintanya, merendahkan kehormatannya, mengabaikannya dalam mengambil keputusan, dan mencabut haknya untuk memperoleh kebahagiaan hidup bersama kita.

Seorang suami boleh jadi jatuh ke dalam al-baghyu apabila ia secara sengaja mengabaikan kebutuhan istrinya untuk memperoleh kehangatan dari suaminya. Ia bisa bisa digolongkan ke dalam kelompok orang-orang yang berbuat aniaya apabila secara sengaja membiarkan istrinya menderita dan meneteskan airmata, karena tak pernah mendapat sentuhan hangat sebagai istri.

Teringat saya pada Muhammad Abdul Halim Hamid. Ia pernah mengingatkan, “Setiap amal yang diwajibkan Allah pasti mengandung kebajikan yang banyak. Barang siapa menyia-nyiakannya, maka akan datanglah berbagai musibah.”

“Oleh karena itu,” kata Muhammad Abdul Halim Hamid lebih jauh, “barang siapa yang mengabaikan kewajiban jima’ akibatnya berbahaya bagi istri. Ia akan merasa tertekan dan gelisah. Dengan demikian berarti tak dapat merasakan kenikmatan dan kebahagiaan.”

Penjelasan Abdul Halim Hamid ini mengingatkan kita bahwa atas setiap hak, ada kewajiban yang harus dipenuhi. Dan bahwa atas setiap kewajiban, ada kebaikan yang menyertai apabila ditunaikan. Segala sesuatu yang menyangkut hidup kita dengan diri sendiri, atau apalagi yang berhubungan dengan orang lain, tak pernah lepas dari pengaturan mengenai hak, kewajiban, kebajikan dan kebaikan. Semua ini kita perlukan karena perasaan memiliki pasang surutnya. Demikian pula cinta tak selalu bersemi di saat kita mengharapkannya. Di saat seperti ini, maka tak ada pegangan yang lebih kokoh kecuali tegasnya peraturan dan terangnya pengaturan.

Pada akhirnya, kembalinya memang pada kita. Terlebih ketika tidak ada sistem yang mendukung untuk tegaknya penghormatan kepada setiap hamba-Nya, hatta itu adalah istri kita sendiri. Catatan sederhana hanyalah ikhtiar untuk sama-sama mengingatkan agar tak terjatuh pada keburukan yang sama. Keburukan yang telah membinasakan orang-orang sebelum kita dikarenakan mereka menistakan istrinya sendiri.

Ah, diam-diam saya teringat dengan perkataan Nabi ShallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pernah mengatakan, “Tidak memuliakan wanita kecuali laki-laki yang mulia. Tidak merendahkan wanita kecuali laki-laki yang rendah juga.”

Agaknya, hadis ini dapat menjadi cerminan kita, termasuk suami macam apakah kita ini? Kalau kita masih termasuk orang-orang yang rendah, semoga Allah memberi kesempatan kita untuk berbenah sehingga kita kelak pulang ke hadapan Allah dalam keadaan mulia dan diridhai-Nya. Bukan dalam keadaan nista dan rendah.

Semoga Allah menolong kita. Semoga Allah menghindarkan kita dari perbuatan-perbuatan rendah, termasuk di dalamnya perbuatan mendurhakai istri
 

Thursday, January 03, 2013

Mendurhakai Anak by Mohammad Fauzil Adhim

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
 
Seorang laki-laki datang menghadap Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu. Ia bermaksud mengadukan anaknya yang telah berbuat durhaka kepadanya dan melupakan hak-hak orangtua. Kemudian Umar mendatangkan anak tersebut dan memberitahukan pengaduan bapaknya. Anak itu bertanya kepada Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah anak pun mempunyai hak-hak dari bapaknya?” . “Ya, tentu,” jawab Umar tegas. Anak itu bertanya lagi, “Apakah hak-hak anak itu, wahai Amirul Mukminin?”. “Memilihkan ibunya, memberikan nama yang baik, dan mengajarkan al-Qur’an kepadanya,” jawab Umar menunjukkan. Anak itu berkata mantap, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku belum pernah melakukan satu pun di antara semua hak itu. Ibuku adalah seorang bangsa Ethiopia dari keturunan yang beragama Majusi. Mereka menamakan aku Ju’al (kumbang kelapa), dan ayahku belum pernah mengajarkan satu huruf pun dari al-Kitab (al-Qur’an). “Umar menoleh kepada laki-laki itu, dan berkata tegas, “Engkau telah datang kepadaku mengadukan kedurhakaan anakmu. Padahal, engkau telah mendurhakainya sebelum dia mendurhakaimu. Engkau pun tidak berbuat baik kepadanya sebelum dia berbuat buruk kepadamu.”

Kata-kata Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu ini mengingatkan kepada kita -para bapak- untuk banyak bercermin. Sebelum kita mengeluhkan anak-anak kita, selayaknya kita bertanya apakah telah memenuhi hak-hak mereka. Jangan-jangan kita marah kepada mereka, padahal kitalah yang sesungguhnya berbuat durhaka kepada anak kita. Jangan-jangan kita mengeluhkan kenakalan mereka, padahal kitalah yang kurang memiliki kelapangan jiwa dalam mendidik dan membesarkan mereka.

Kita sering berbicara kenakalan anak, tapi lupa memeriksa apakah sebagai orangtua kita tidak melakukan kenakalan yang lebih besar. Kita sering bertanya bagaimana menghadapi anak, mendiamkan mereka saat berisik dan membuat mereka menuruti apa pun yang kita inginkan, meskipun kita menyebutnya dengan kata taat. Tetapi sebagai orangtua, kita sering lupa bertanya apakah kita telah memiliki cukup kelayakan untuk ditaati. Kita ingin mereka mengerti keinginan orangtua, tapi tanpa mau berusaha memahami pikiran anak, kehendak anak dan jiwa anak.

Pendidikan yang kita jalankan pada mereka hanyalah untuk memuaskan diri kita, atau sekedar membebaskan kita dari kesumpekan lantaran dari awal sudah merasa repot dengan kehadiran mereka. Bahkan, ada orangtua yang telah merasa demikian repotnya menghadapi anak, ketika anak itu sendiri belum lahir.

Teringatlah saya ketika suatu hari pergi bersama istri dan anak saya. Muhammad Nashiruddin An-Nadwi, anak saya yang keempat, masih bayi waktu itu dan sedang lucu-lucunya (sekarang pun dia masih sangat lucu dan menggemaskan) . Sembari menunggu bagasi, seorang ibu yang modis bertanya kepada istri saya, “Anak pertama, Bu?”. “Bukan,” jawab istri saya, “Ada kakaknya, cuma nggak ikut.” “Ou. Memangnya, berapa anaknya, Bu?” tanya ibu itu segera. “Baru empat. Ini anak yang keempat,” jawab saya ikut menimpali. “Empat???” tanya ibu itu dengan mata terbelalak. Tampaknya ia kaget sekaligus heran. Kemudian dia segera mengajukan pertanyaan berikutnya, “Yang paling besar sudah kelas berapa?”. “TK A. Nol kecil,” jawab istri saya.

Ibu itu tampak sangat kaget. Begitu kagetnya, sehingga nyaris berteriak, “Ya, ampun.. Empat! Apa nggak repot itu? Saya punya anak satu saja rasanya sudah repot sekali. Ribut. Nggak mau diatur. Apalagi kalau empat. Nggak terbayang, deh. Bisa-bisa mati berdiri saya.”.

Ungkapan spontan ibu ini adalah cermin kita, cermin yang menggambarkan betapa banyak orang yang menjadi orangtua semata-mata karena dia punya anak.Bukan gambaran tentang kematangan jiwa atau kualitas kasih sayang. Anak hadir dalam kehidupan mereka semata-mata sebagai resiko menikah, sehingga sinar mata anak-anak yang masih jernih tanpa dosa tak mampu membuat orangtuanya terhibur.

Terkadang orangtua sudah lama merindukan anak. Tetapi ia memiliki gambaran sendiri tentang anak seperti apa yang harus lahir melalui rahimnya, sehingga ia kehilangan perasaan yang tulus saat Allah benar-benar mengaruniakan anak.Terlebih ketika yang lahir, tidak sesuai harapan. Orangtua yang sudah terlalu panjang angan-angannya, bisa melakukan penolakan psikis terhadap anak kandungnya sendiri. Atau memperlakukan anak itu agar sesuai dengan harapannya. Inginnya anak perempuan, yang lahir laki-laki. Maka anak itupun diperlakukan seperti perempuan, sehingga ia berkembang sebagai bencong. Atau sebaliknya, anak itu menjadi bulan-bulanan kekesalan orangtua, bahkan ketika anaknya sudah memiliki anak. Ketika anaknya sudah menjadi orangtua.

Kejadian semacam ini tidak hanya sekali terjadi di dunia. Karena yang lahir tidak sesuai harapan, kadang anak akhirnya menjadi tempat menimpakan kesalahan. Apapun yang terjadi, anak inilah yang menjadi kambing hitam. Setiap ada yang salah, anak inilah yang harus ikut menanggung kesalahan. Atau bahkan dia yang harus memikul seluruh kesalahan, meskipun bukan dia penyebabnya. Terkadang bentuknya tidak sampai seburuk itu, tetapi akibatnya tetap saja buruk. Anak merasa tertolak. Ia tidak kerasan di rumah, meskipun rumahnya menawarkan kemegahan dan kesempurnaan fasilitas. Ia merasa seperti tamu asing di rumahnya sendiri.

Saya teringat dengan cerita seorang kawan yang mengurusi anak-anak jalanan. Suatu ketika ia menemukan seorang anak yang babak belur mukanya dihajar sesama anak jalanan karena berebut lahan di sebuah stasiun. Wajahnya sudah nyaris tak berbentuk. Anak ini kemudian ia selamatkan. Ia rawat dengan baik dan penuh kasih-sayang. Setelah kondisi fisiknya pulih dan emosinya pun sudah cukup baik, ia tawarkan kepada anak itu dua pilihan; dipulangkan ke rumah orangtua atau dikirim ke sebuah lembaga pendidikan. Seperti anak-anak lain di muka bumi, selalu ada perasaan rindu pada orangtua. Maka ia mengajukan pilihan dipulangkan ke rumah orangtua.

Staf dari kawan saya ini kemudian berangkat mengantarkan pulang ke sebuah kota di Jawa Tengah. Nyaris tak percaya, orangtua anak itu ternyata memiliki kedudukan yang cukup terhormat. Bapaknya seorang jaksa dan ibunya seorang kepala sekolah sebuah SMP. Rumahnya? Jangan tanya. Mereka sangat kaya. Cuma satu yang mereka tidak punya: perasaan. Melihat anaknya yang sudah dua tahun meninggalkan rumah, tak ada airmata haru yang menyambutnya. Justru perkataan yang sangat tidak bersahabat, “Ngapain kamu pulang?”. Melihat sambutan yang sangat tidak bersahabat ini, staf teman saya segera mengajak anak itu kembali ke Jogja.

Tak ada airmata yang melepas. Tak ada rasa kehilangan dari orangtua saat anak itu kembali meninggalkan rumah.Yang ada hanyalah perasaan yang remuk pada diri anak. Di saat ia ingin dididik oleh orangtua yang menjadi pendidik di SMP, yang ia dapatkan justru sikap sangat kasar. Benar-benar perlakuan yang sangat kasar, menyakitkan dan menghancurkan perasaan. Jangankan anak yang masih usia SD itu, pengantarnya yang sudah dewasa pun merasakannya sebagai penghinaan luar biasa. Penghinaan tanpa perasaan, tanpa nurani dan tanpa kekhawatiran akan beratnya tanggung-jawab di yaumil-akhir. Karena itu, tak ada pilihan yang lebih baik kecuali menyingkirkan si anak dari orangtuanya yang durhaka.

Kisah anak jalanan ini hanyalah satu di antara sekian banyak kedurhakaan orangtua pada anak. Tak sedikit anak jalanan yang lari dari rumah dan lebih memilih kolong jembatan sebagai tempat tinggal, padahal orangtuanya memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan kekayaan yang besar. Seorang anak jalanan yang sudah direhabilitasi, orangtuanya ternyata anggota dewan sebuah daerah.

Apa yang terjadi sesungguhnya? Banyak hal, tetapi semuanya bermuara pada hilangnya kesadaran bahwa anak-anak itu tidak hanya perlu dibesarkan, tetapi harus kita pertanggungjawabkan ke hadapan Allah Ta’ala. Hilangnya kesabaran menghadapi anak, kadang karena kita lupa bahwa di antara keutamaan menikah adalah menjadikannya sebagai sebab untuk memperoleh keturunan (tasabbub). Kita membatasi berapa anak yang harus kita lahirkan demi alasan kesejahteraan dan kemakmuran, sembari tanpa sadar kita melemahkan kesabaran dan kegembiraan kita menghadapi anak-anak.

Dulu, sebagian orangtua kita bekerja sambil memikirkan nasib anak-anak kelak setelah ia mati: masih samakah imannya? Sekarang banyak orangtua mendekap anaknya, tetapi pikirannya diliputi kecemasan jangan-jangan satu peluang karier terlepas akibat kesibukan mengurusi anak.

Dulu orangtua meratakan keningnya untuk mendo’akan anak. Sekarang banyak orangtua meminta anak berdo’a untuk kesuksesan karier orang tuanya.